Si Gadis Kaleng Kecil

Related Articles

Dia tersenyum sambil menyodorkan kaleng kecilnya kepada orang-orang di kota. Panggil saja ia si gadis kecil. Menyusuri jalan raya yang buas. Seraya memeluk kaleng kecilnya yang tak jua pernah penuh.

Setiap manusia pastilah mendambakan kebahagiaan. Demikian pula dengan dirinya. Ah, andaikan ia bisa menemukan kebahagiaan dalam dunia ini. Bukan sekadar kebahagiaan yang tampak di luar, tetapi kebahagiaan yang menetap di dalam hati. Namun, ia meminta-minta dan meminta lagi pada manusia yang disangka memiliki cinta kasih kepada sesama. Tapi sayangnya hati nurani manusia sudah mati.

Adalah seorang pria baik hati yang sedari petang tadi dimintai recehan oleh gadis kecil itu. Setelah memberi beberapa recehan padanya. Ia  merasa iba dan mengikuti perjalanan gadis kecil peminta-minta itu pulang ke bawah jembatan. Dilihatnya jalan yang dilintasi si gadis kecil penuh dengan genangan air yang kotor. Seolah telah hafal lika liku jalan, sang gadis dengan lincah melompat-lombat melewatinya. Tiba-tiba dalam sekali lompatan dia terjatuh. Kaleng dan beberapa koin bertebaran.

“Hai Nak, jalanmu cukup terang untuk berjalan, kenapa kamu terjatuh?” pria tersebut berteriak kepadanya dari jalan seberang.

Gadis kecil pun termenung. Tapi kemudian terbersit di pikirannya, mungkin masalahnya tidak terletak pada terangnya jalan. Mungkin masalahnya ada pada dirinya. Jadi, ia buru-buru balik berteriak,
“Siapa kamu? Kenapa memperhatikan aku? Apakah kamu melihat sesuatu yang salah dengan diriku?”

Samar-samar orang itu berusaha mengamati sang gadis kecil dari kejauhan.

“Aku tidak dapat melihatmu dengan jelas,” kata orang itu. “Kamu terlalu jauh untuk diamati.” Kemudian ia pun kembali sibuk menyusuri jalannya sendiri.

Gadis kecil berkaleng kecil melanjutkan perjalanannya dengan hati yang sedih. Sambil memungut koinnya satu persatu, betapa ia masih mengharapkan kebahagiaan, bahkan lebih dari pada itu. Rasa aman dan damai. Ya, sesungguhnya ia ketakutan di jalan itu, ia ingin segera berada di rumahnya. Rumah bertahta kardus, kehidupan bawah jembatan, yang lekat dengan sungai yang kotor. Walau demikian ia merasa penuh kedamaian, tertawa bersama ibunya tersayang.

Beberapa kilometer kemudian ia terjatuh lagi. Sakit. Sakit sekali. Perjalanan ini tidak terasa semakin ringan, dan sang gadis kecil tak tahu berapa jauh lagi ia harus berjalan. Ia terus berjalan dan berjalan, berharap bisa segera tiba di rumah. Kali ini ia tak terjatuh lagi meski sudah cukup jauh berjalan. Namun, sampai pada suatu titik, kakinya terasa nyeri sekali. Kakinya yang bengkok dan penuh luka karena sering terjatuh itu mulai sakit dan kelelahan. Ia berusaha tidak menghiraukannya dan mencoba terus melangkah. Namun akhirnya, ia terjatuh kembali. Sang gadis kecil merasa putus asa. Untuk apa ia menyusuri jalan ini? Lebih baik ia tak pernah masuk ke jalan mana pun dan terlelap dalam kota antah berantah itu, mati dilindas mobil-mobil mewah.  Ia mendesah sambil mengenang awal perjalanannya.

Merasa tak sanggup lagi melangkah, sang gadis kecil berhenti berusaha untuk bangkit. Ia memilih duduk bersandar di tiang listrik terdekat dan tak melanjutkan perjalanannya. Memejamkan mata, mencoba menikmati semilir angin berpolusi yang berhembus lembut. Entah sudah berapa lama ia di sana ketika sebuah teriakan membuyarkan waktu istirahatnya.

“Hai Nak, aku mengamatimu sedari tadi, melihatmu terjatuh berkali-kali di jalan yang tidak terlalu gelap. Ternyata kakimu penuh borok, bengkok dan matamu pun berselaput. Sekarang  aku tak heran kalau kamu berkali-kali terjatuh. Tapi sesungguhnya kamu gadis kecil yang pantang menyerah. Namun, mengapa sekarang kamu duduk diam di sini?”

Sang gadis kecil berusaha mencari dari mana asal suara itu. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak berhasil menemukan sosok yang berbicara kepadanya. Yang tampak hanya orang-orang sibuk berjalan di jalan mereka masing-masing. Ia pun coba menjawab suara itu.

“Aku lelah, Tuan. Ya, seperti yang Tuan lihat, mataku berselaput dan kakiku bengkok. Banyak orang bertubuh sempurna dari jalan lain tidak mengerti keadaanku. Mereka mengata-ngataiku sebagai si miskin yang pemalas.

Dalam hitungan detik, suara itu kembali terdengar.

“Ya, aku melihat kamu diremehkan orang sedari tadi. Namun, bukankah selama ini kamu tetap berjalan dengan kalengmu nan mungil? Mengapa sekarang kamu duduk begitu lama?”

Sang gadis kecil menarik napas panjang.

“Tuan, jalan ini tak kunjung habis, dan tak menjadi semakin mudah untuk kulalui. Aku bertahan dari setiap hinaan orang, sekarang aku lelah. Kakiku sakit sekali. Apakah sekarang Tuan juga hendak merendahkan aku?”

“Aku tidak hendak merendahkan kamu, gadis kecil. Aku hanya ingin berbincang-bincang denganmu. Bukankah sedari tadi kau kesepian? Bukankah semua orang berbicara kepadamu hanya untuk mengatakan bahwa kamu miskin, malas, dan lemah? Hanya sedikit orang saja yang coba menolongmu.”

“Ya,” jawab gadis itu. “Tapi percuma saja aku ditolong, aku masih terus terjatuh dan kesakitan. Sampai sekarang, aku pun tak kunjung sampai ke rumahku. Apakah engkau bisa menolongku, Tuan?”

“Saat ini aku hanya dapat berkata: Berjalanlah terus karena kamu sudah semakin dekat dengan rumahmu. Jangan pikirkan kapan perjalananmu akan berakhir, hanya berjalanlah. Dan aku, aku akan menemanimu di sepanjang perjalanan ini. Selama kamu berjalan, kamu bisa bercengkerama denganku, sehingga perjalananmu yang jauh ini tidak terasa begitu membosankan dan melelahkan.”

“Tuan, terimakasih. Sejujurnya, itu bukan pertolongan yang aku pikirkan atau harapkan. Tadinya aku berharap Tuan bisa membawaku pulang dengan mobil atau sepeda motor supaya aku bisa sampai lebih cepat; aku bahkan berharap Tuan adalah seorang dokter sakti yang dapat menyembuhkan kaki bengkokku dan mengambil selaput di mataku. Namun, tawaran Tuan itu kurasa sudah cukup baik,” ujar gadis kecil sambil tersenyum.

“Kalau begitu, mari lanjutkan perjalanan,” kata suara itu.

Gadis kecil perlahan bangkit lalu kembali berjalan. Langkahnya tertatih, tetapi ia terus berjalan. Perjalanannya terasa lebih ringan bersama suara yang menemaninya. Ia masih sering terjatuh, tetapi kini ia punya semangat yang baru untuk tetap terus berjalan. Dan untuk sekian kalinya ia terjatuh tapi kali ini tak sadar diri. Tuan yang sedari tadi sembunyi mengikutinya segera menghampiri. Tergopoh-gopoh lelaki itu membawanya ke rumah sakit. Tak sadar ia saat isi dompetnya terjatuh tertebaran. Satu kertas berwarna biru yang mereka sebut kartu nama, tertulis disana sebuah nama dr. Dayat, SpOG.

Semalam telah berlalu. Sang gadis kecil menangis penuh haru. Mata dan kakinya telah sembuh. Kini ia dapat melihat dengan lebih jelas. Gadis kecil pun berlari menuju rumahnya yang terang, hangat, dan nyaman. Di rumahnya bersama para malaikat surgawi. Pun kaleng kecil kini tak bergeming. Terdiam di sudut kota, menanti gadis kecil untuk memeluknya (lagi).

          Apa yang dapat dipetik dari kisah ini? Arti perjuangan seorang gadis kecil untuk meneruskan hidup, yah itu benar. Tapi lebih dari itu. Kita seharusnya dapat menggenggam tangan mungil si gadis kecil. Membimbingnya dengan kasih dan memberikan tempat yang layak untuk seorang anak kecil. Sadarkah kita? Satu persatu dari kita lepas dari ikatan persaudaraan? Ada rantai yang hilang dari kehidupan manusia. Saya biasa menyebutkannya sebagai manusia-manusia kehilangan makna. Makna kemanusiawian dalam dirinya. Dimanakah kita mendapatkan manusia-manusia yang mengerti makna? Makna kasih, makna hidup, makna kebersamaan. Bukan antisocial seperti saat ini meraja. Hedonism individualistis meraja di setiap isi kepala manusia. Berdosalah kita hanya berpangku tangan melihat sesama kita kesulitan. Berdosalah kita hanya bisa memotret dengan smartphone ketika mereka mengemis dan meminta. Banyak tangan-tangan diluar sana yang harusnya kita genggam. Merangkul mereka yang merasa hina dina. Mengusap tangis dan derita kaum papa, seperti halnya si gadis kaleng kecil. Jangan tunggu diri anda berada dalam posisi mereka, baru anda sadar betapa berbagi kasih sangat dibutuhkan.

(Cerpen dari buku AIR MATA BERBUNGA, karangan Sr. Angela Siallagan & Sry Lestari Samosir)

 

 

 

More on this topic

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër

Comments

Advertismentspot_img

Popular stories