Tuhanlah Kekuatanku dan Perisaiku hanya pada-Nya aku percaya

Related Articles

(Sr.M.Secilia Siringo-ringo FCJM)

Perasaan hampa, sepi dan hampir putus asa menusuk hati. Kadangkala dada terasa sesak. Akhirnya, hanya mampu  tertegun dalam kebisuan.  Itulah yang dialami Ludin Siringo-ringo dan Maria Henrika boru Siregar. Mereka menyimpan kerinduan dahsyat di dadanya. Kerinduan mendapat buah cinta yang lama dinanti, namun tak kunjung tiba. Sr. Cypriana de Vogel dan Sr. Aegidia. Kedua Suster FCJM tersebutlah yang berjasa membantu pasangan Ludin dan Maria Henrika menghadirkan buah cintanya.

Buah cinta itu adalah Agnes Siringo-ringo. Dia merupakan anak pertama dari sepuluh orang bersaudara, yang lahir di Lumban Loba pada tanggal 7 Januari 1941. Nama ini diberikan oleh pasangan Ludin Siringo-ringo dan Maria Henrika boru Siregar sebagai ungkapan syukur atas kebahagiaan mereka. Kelahiran Agnes telah lama dinanti-nantikan oleh keluarga. Apalagi sempat terpikir keluarga Bapaknya yang menyuruh menceraikan ibunya. Ternyata Tuhan Maha Pencipta tidak mau tinggal diam. Dia menebar harapan lewat kebaikan hati Sr. Cypriana de Vogel dan Sr. Aegidia, sehingga pasangan suami-istri itu mendapatkan hadiah istimewa dari sang Pencipta.

Dalam perjalanan waktu, Agnes merenungkan peristiwa ini sebagai sebuah sejarah hidup yang indah dan penuh iman. Tuhan telah merencanakan Agnes sebagai pengikut-Nya bahkan saat ia belum lahir dalam kandungan Ibunya. Sebuah peristiwa yang tinggal tetap dalam nubari yang tak lekang oleh waktu dan masa. Meski kini telah menginjak usia 76 tahun, peristiwa bersejarah itu tetap segar dalam ingatan. Setelah kehadiran Agnes, sang Ibu masih melahirkan beberapa orang saudara dan saudari,”. Kenangan itu semakin berharga ketika terungkap dalam sebuah refleksi dalam mengenang 60 tahun hidup dalam Kongregasi FCJM ini. Hidupku adalah sebuah. Hadiah yang diterima dan dipersembahkan untuk Sang Pencipta, ungkapnya mengenang peristiwa berharga itu.

Ingin Menjadi Suster

Suatu ketika diadakan perayaan prosesi Sakramen Mahakudus di Gereja Onan Runggu, Samosir. Keluarga Agnes baru saja pindah ke tempat itu, karena bapaknya pindah tugas sebagai guru di sekolah negeri. Pada saat itulah Agnes melihat banyak berkumpul kaum religius. Uskup, Para Pastor, Suster dan Frater. Baginya pertemuan itu merupakan pengalaman pertama kali melihat Suster. Hari yang bersejarah baginya, karena banyak Suster yang datang. Pakaian mereka juga berbeda corak. Namun, Agnes lebih tertarik dengan Suster yang berpakaian hitam dengan tali pinggang. Mereka disebut sebagai Suster-suster FCJM yang datang dari Balige. Meskipun mereka bukan berasal dari Indonesia, tetapi mereka mampu berbahasa batak. Hal inilah yang membuat anak-anak suka bersama mereka. Kehadiran mereka begitu memikat hati; penampilan yang anggun, ramah, senyumnya yang manis dan tak jarang mereka tertawa dengan lepas bebas.

Saya sungguh tertarik dengan kehadiran mereka. Aku ingin seperti mereka”, niat Agnes dalam hatinya.

Keinginan yang Tak Pernah Luntur

Panggilan dan pilihan seorang biarawati merupakan misteri Allah”. Demikian Agnes mengalami bahwa panggilan Allah sungguh misteri, karena tak terselami oleh akal manusia. Pengalamannya menjalani panggilan dan dalam relasi dengan Allah itu diceritakannya demikian:

Ketika keluarga kami masih tinggal di Palipi, aku masih duduk di bangku kelas V SD. Aku ikut persiapan komuni pertama. Sebelumnya, Ibu membawaku ke Balige untuk membeli bakal baju putih yang baru. Sesudah itu kami pergi membawa kain ini ke Poliklinik di jalan Perdede Onan. Di situlah kami bertemu dengan para suster FCJM  Balige. Suster-suster begitu ramah dan hangat. Ketika baru bertemu, mereka langsung merangkul dan memeluk Ibu dengan hangat. Saya asyik menonton kisah dramatis itu, sambil sedikit terkejut dan heran melihat kehangatan mereka.

Suster lalu mengambil kertas dan menulis sesuatu. Dia menulis nama seorang Suster yang ada di Sangkar Nihuta. Kami pun mengikuti petunjuk tersebut dan kemudian bertemu dengan suster yang namanya tertera pada kertas putih itu. Dia menyambut kami dengan hangat. Tak begitu lama, ia langsung mengukur badanku agar dapat dibuat patron untuk menjahit bakal baju yang akan dipakai saat penerimaan komuni pertama.

Perayaan Komuni pertama tiba. Aku merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Hatiku berkobar ingin menjadi seorang Suster. Wajah Suster yang menjahit pakaian komuni itu seakan-akan melekat pada ingatanku. Aku membayangkan diriku begitu anggun dan cantik, saat mengenakan pakaian putih hasil jahitan seorang Suster. Aku seperti malaikat yang turun dari Surga.

Yesus seolah-olah berbisik padaku: Kulirik engkau apa adanya dengan masa kecilmu ini yang belum tentu kamu sadari betul apa arti masa depan dan cita-citamu. Aku mau bersahabat denganmu hanya Kuminta buka gerbang hatimu bagiKu.”

Mendekati Kenyataan

Pada pertengahan tahun 1954-1955, tahun terakhir Agnes berada di bangku sekolah SKKR, perasaan dan cita-citanya semakin bulat. Agnes masih ingat, kala itu komunitas Suster KYM yang ada di Palipi sedang dalam pembangunan. Gedung baru itu dekat dengan rumah mereka, hanya dibatasi dengan jalan raya. Selama proses pembangunan tersebut, seluruh umat di sekitar diikutsertakan mencari batu dan mengangkut pasir dari pantai yang dekat dengan lokasi tersebut. Anak-anak seumur Agnes juga ikut mengangkut pasir sesudah pulang sekolah dan waktu libur.

Ada seorang bapak, yakni Bapak Silalahi. Dia adalah kepala tukang untuk pembangunan itu. Dia sering bercanda dengan mengatakan agar Agnes bersedia menjadi parumaennya (menantu). Bagi Agnes permintaan itu terasa aneh, karena ia berniat kuat untuk menjadi seorang Suster. Begitulah keinginan kuat dalam diri Agnes, namun ia tidak berani mengungkapkannya kepada kedua orangtua.

Suatu ketika Agnes mendekati Bapaknya di kala Ibunya tidak ada di rumah. Agnes mengatakan bahwa ia tidak mau sekolah lagi. Dia ingin menjadi seorang suster di Balige. Bapaknya terkejut dan bungkam seribu bahasa. Agnes tunduk dan terdiam. Dia malah menjadi salah tingkah, takut dan ingin pergi menghindar. Namun, Bapak menarik dan menahannya.

“Bapak tidak keberatan, tapi jangan di ketahui Ibumu nanti dia sakit”. Meski Bapak Agnes setuju, namun perkataannya membuat Agnes semakin kalut dengan keputusannya.

Ada lagi suatu pengalaman yang begitu diingat Agnes hingga sekarang. Demikian dia ceritanya.

Ketika itu keadaan rumah kami terasa sepi. Hanya ada Ibu yang sedang menangis. Agnes awalnya tidak tahu alasan Ibu menangis. Aku hanya mencoba mendekatinya dan menghapus air matanya. Baru beberapa waktu kemudian aku tahu alasan Ibu menangis. Setelah pengumuman lulus SRR Bapak pergi ke Balige dan aku di bawa ke Nainggolan untuk bertemu dengan tanteku (saudari bapak). Dia mengajar kursus menjahit di sana. Kemudian bapak ke Balige lagi dan memberitahu niat saya  kepada suster. Sekembalinya dari susteran, Bapak membawa satu daftar pakaian yang perlu di persiapkan oleh tante. Saat itu juga, tante mengukur badanku untuk menjahit beberapa pakaian. Setelah itu, kami pulang dan kira-kira dua minggu kemudian Bapak membawa satu koper yang penuh dengan keperluanku. Waktu ibu melihat itu, Ibu sangat terkejut dan menangis. Dia memeluk dan merangkul saya sambil mengatakan:Jangan pergi inang boruku hasian”. Sesudah itu Ibu pingsan. Bapak langsung mengambil tindakan dengan segera berlari membawa Ibu ke klinik. Klinik itu dikelola oleh Suster. Karena kejadian tersebut, banyak orang datang ke rumah ingin mengetahui apa yang sedang terjadi. Mereka akhirnya tahu penyebab Ibu pingsan, karena ia tidak rela aku menjadi suster.

Beberapa hari sesudah kejadian itu, ada seorang Suster yang membawa aku ke susteran dan membujuk aku untuk membatalkan niat menjadi seorang Suster. Dia menganjurkan supaya aku sekolah di SMP yang dikelola oleh Suster tersebut. Aku terdiam dan tidak mau bicara. Namun, di sisi lain aku memperhatikan bahwa Bapak cukup mendukung niat dan keinginanku. Dia memperhatikan segala kebutuhanku untuk menjadi seorang Suster.

Ternyata keinginanku dan dukungan Bapak berbuah nyata. Aku direstui menjadi Suster. Sebelum berangkat ke Balige, tempat para Suster FCJM, aku dan Ibu pamit ke komunitas Suster KYM yang berdekatan dengan rumah kami. Seorang Suster, sering dipanggil dengan sebutan Muder Antonia adalah ibu rumah di komunitas Suster KYM itu. Dia memberikanku kenangan satu set perhiasan imitasi yakni kalung, gelang dan cincin. Spontan aku murung dan kecewa, karena aku tidak mengharapkan hadiah seperti itu. Tetapi aku tetap menerimanya untuk menjaga agar Muder Antonia tidak tersinggung. Aku sebenarnya berharap diberikan Rosario.

Pada malam terakhir sebelum keberangkatanku, para tetangga datang memberangkatkanku dengan doa dan nyanyian. Salah satu nyanyian yang aku ingat ialah “bidang do sisabion i”. Lagu ini begitu syahdu dan sangat menyentuh. Lagu itu hingga kini tetap mengingatkanku akan peristiwa itu. Ketika menyanyikan lagu itu banyak ibu yang menangis termasuk Ibuku. Kesedihan itu beralasan. Baru aku yang mau menjadi suster dari kampungku. Pada saat itu para penduduk juga masih berpikir bahwa dengan menjadi suster, hubungan seseorang dengan keluarganya akan terputus.

Pada malam itu juga aku dan Ibu berangkat dengan kapal menuju Balige. Di perjalanan memegang kenangan yang telah diberikan suster dan menunjukkan kepada Ibu seraya berkata: “Bu kenangan dari suster ini akan saya buang ke danau. Aku tidak tahu sudah di mana kita berada malam ini. Kalau benda ini kembali padaku baru aku pulang kampung”. Sesudahnya aku merasa sedikit lega, meskipun perasaanku bercampur aduk. Aku senang karena cita-cita mulai nyata di depan mata. Di sisi lain aku sedih mengingat orang tua dan adik-adik di kampung.

Setelah beberapa waktu lamanya, kamipun tiba di susteran Balige. Kami disambut oleh Muder Cypriana yang ramah dan penuh kegembiraan. Ibu menyerahkan aku kepada Muder Cypriana sebelum ia kembali ke kampung. Dia pamit dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangisan. Hari itu menjadi sebuah sejarah. Hari berahmat, bahwa Tuhan menghantar aku ke Susteran Balige. Aku dan dihantar oleh Ibuku sendiri. Sungguh sebuah kenangan indah yang selalu kusyukuri dan kukenang.

Berlayar dalam perahu FCJM

Sebagai calon Suster FCJM, Agnes dan beberapa teman sepanggilan menjalani masa aspiran selama satu tahun di Balige. Pada tanggal 17 September 1956, sesudah melewati masa aspiran mereka memasuki masa Postulan. Pada tahap ini mereka mulai mengenal tentang sejarah dan cara hidup sebagai suster FCJM. Suster pendamping dengan begitu sabar dan tekun mendidik mereka. Mereka mengajarkan bahwa hidup tidak semau gue. Hidup dalam keluarga FCJM adalah hidup yang mau dan mampu menata hidup rohaninya, disiplin waktu, memperhatikan hidup doa, hal-hal praktis dalam kehidupan sehari-hari dan masih banyak lagi.

Saya mengalami suka duka dalam persaudaraan dengan teman seperjuangan. Kadangkala aku merasa ditantang, namun aku tak mau goyah. Aku juga tak mau gampang menyerah dan kalah. Aku punya prinsip Selama Tuhan tidak menolakku hambaNya ini, aku harus terus melangkah apapun rintangannya”, kata Agnes mengenang peristiwa itu.

Agnes dan ketujuh teman seangkatan seperti berada dalam sebuah perahu FCJM. Mereka saling menguatkan satu sama lain, sehingga mereka menyelesaikan masa Postulan dengan penuh gembira. Setelah menyelesaikan tahap Postulan, mereka melanjut ke Novisiat. Masa Novisiat diawali dengan retret selama delapan hari. Retret ini merupakan saat hening bersama Tuhan yang memanggil dan memilih mereka. Retret ini juga sebuah persiapan untuk memasuki masa Novisiat.

Tanggal 22 Agustus 1957 adalah hari yang bersejarah. Pada hari itulah Agnes dan tujuh orang temannya memasuki masa Novisiat. Pada hari itu, secara serentak mereka menerima jubah biara dari Kongregasi FCJM dan memakainya untuk pertama kalinya. Mereka juga memilih nama baru sebagai nama pertobatan. Nama yang dipilih Agnes yakni: Sr. M. Secilia Siringo-ringo FCJM. Orangtua mereka sengaja diundang untuk menyaksikan penyerahan diri putri-putrinya. Begitu banyak juga umat yang hadir dalam Gereja. Awalnya, para calon Novis diarak dari rumah suster ke gereja dengan pakaian pengantin dan lengkap dengan bunga pangkunya. Dan saat perayaan berlangsung, rambut mereka digunting sedikit-sedikit hingga tiga kali seraya diucapkan: “Hinakan dirimu, hinakan dirimu, hinakan dirimu yang dina”.

Sesudahnya mereka tiarap di lantai diiringi dengan lagu litani. Setelah itu mereka menerima seperangkat pakaian yang beratnya tidak kurang dari dua kilogram. Dengan pakaian suster yang anggun, mereka tampil kembali ke depan altar menerima nama baru, nama biara. Agnes menerima nama Sr. M. Secilia Siringoringo FCJM, pencinta Sakramen Maha Kudus. Lewat perayaan tersebut Sr. Secilia memulai hidup baru menjawab panggilan Tuhan. Menjadi pengikut Kristus tentulah harus berani menderita dan mengikuti Kristus yang mati di Salib dan yang menjadi model seumur hidup.

Pembinaan tahun pertama masa novisiat disebut kanonik sesuai dengan peraturan gereja. Pembina berusaha membina novis dengan intensif, mulai dari hidup rohani, refleksi hidup religius, tanggungjawab dalam tugas dan masih banyak hal lainnya. Mereka diajari untuk menghayati dan menghidupi ketiga kaul. Mereka diajari juga untuk mampu mengembangkan keutamaan manusiawi lewat pelajaran etika dan moral. Untuk semakin memahami panggilan hidup sebagai FCJM, maka kepada mereka juga diperkenalkan dasar dan cara hidup sebagai Suster, yakni: konstitusi, statuta dan anggaran ordo ketiga regular. Pembinaan di novisiat menjadi sekolah doa dan sekolah hidup bagi tunas-tunas muda FCJM.

Masa Novisiat ia jalani selama dua tahun. Setelah itu pada tanggal 22 Agustus 1959, Sr. Secilia menjanjikan kaul perdana (ketiga kaul) dan mulai memasuki masa Junior. Masa Junior dijalani selama kurang lebih 6 tahun. Tahun-tahun ini merupakan kelanjutan pendalaman semangat dengan harapan para junior memupuk cinta kepada Tuhan dan kongregasi sekaligus menunjukkan kesetiaan mengikuti panggilan Tuhan.

Selama suster Junior, Sr. Secilia ditugaskan melanjutkan sekolah SGKP Maristella di Medan yang dikelola kongregasi SFD. Sr. Secilia mengakui kurang menyukai jurusan ini. “Kurasakan sesuatu yang amat berat untuk dijalani. Aku melihat bahwa aku tidak berbakat dalam hal ini. Namun, pimpinan yang memberikan tugas ini menyadarkanku dengan nasihat jitunya, meskipun beliau memaklumi penolakanku. Hanya ia terus saja mendorongku untuk menerimanya. Akupun mulai menjalani studi ini, yakni di bagian menjahit. Aku mematri di dalam hatiku satu niat, yakni: Bagiku tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Apalagi aku sudah berkaul, maka aku harus taat”, tutur Sr.Secilia.

Tiada Mawar tanpa duri, tiada kebahagiaan tanpa pengorbanan, tiada kehidupan tanpa kematian, tiada kemenangan tanpa salib”. Ini menjadi prinsip hidup bagi orang yang mau mengikuti Kristus yang selalu ia tekankan  dalam dirinya terlebih kalau menghadapi masalah yang tidak ringan. Meski awalnya terasa memberatkan, ia mampu menyelesaikan studinya dengan baik.

Hadir dalam persaudaraan FCJM

Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (Amsal 19:21). Tepatnya tanggal 25 Juli 1965, Sr. Agnes mengikrarkan kaul kekal, yakni kaul seumur hidup. Dengan mengikrarkan kaul ini berarti ia diterima sebagai anggota Kongregasi FCJM secara definitif. Hari itu, Sr. Secilia mempersembahkan hidup di hadapan altar Tuhan. Kedua orang tuanya ikut menyaksikan persembahan dirinya. Kebahagiaannya bertambah saat melihat banyak imam, kaum biarawan dan biarawati dan umat yang hadir, tak ketinggalan umat dari Paroki Balige. Mereka merasakan kebahagiaan, bersyukur atas anugerah dari Tuhan yang memilihnya menjadi pelayan dalam Gereja-Nya.

Dia memanggil dan memilih aku. Hari itu hari yang indah. Hari penuh iman. Tuhan memilih aku untuk menyebarkan warta pelayanan gerejaNya melalui kongregasi FCJM,” ungkap Sr. Secilia.

Setelah pengikraran kaul kekal selesai, kongregasi memberikan kesempatan kepadanya untuk pembinaan lanjut (on going formation). Sr. Secilia diberi tugas baru, yakni sebagai guru dan penanggungjawab di sekolah yang sudah dimulai oleh para pioneer misionaris pendahulu. Tahun 1966, ia diberi tanggungjawab penuh di SNKP bersama dengan teman guru. Dia merasa sangat tertantang, karena tuntutan pemerintah dengan peraturan-peraturannya yang cenderung cepat berubah serta tuntutan profesionalitas demi jaminan mutu anak didik. Untuk meningkatkan animo masyarakat di sekolah kejuruan puteri ini, maka pimpinan kongregasi mencoba menjejaki pembukaan SKKA dengan memohon izin dari Bapak Uskup, Mgr. Antoine Henri van den Hurk OFMCap., dan izin operasional dari Bupati Tapanuli Utara. Usaha itu didukung oleh semua pihak yang berkompeten dalam bidang pendidikan.

Pada tahun 1971, SKKA resmi dibuka dan mulai operasionalnya. Sr. Secilia dan rekannya berusaha menjalankan Spritualitas Muder Clara Pfänder yang berkarakter dan menantang. Sr. Secilia pun memanjatkan doa-doa yang tak putus-putusnya dalam keheningan. Ibarat doa seorang penyair:Keheningan adalah batu karang di mana aku akan berdiri. Ohketika aku menyentuhnya dengan tanganku, moga-moga air dari dalamnya mengalir dari sumber yang gelap, yang rindu kutemukan”.

Sr. Secilia menjalankan tugas pelayanan di SKKA dengan tekun dan setia selama dua tahun. Pada tahun kedua, pemerintah mengganti nama SKKA menjadi SMKK. Maka, kongregasi mengutusnya untuk melanjutkan studi. Sr. Secilia ditantang kembali. Dalam diam ia seakan-akan dinasihati oleh Muder Pendiri dengan kata-kata yang pernah ia ungkapkan: “Jalan hidup kita adalah misteri dari penyelenggaran ilahi yang menuntun kita seturut kehendaknya, walaupun kita tidak memahaminya”.

Sr. Secilia melihat penugasan ini memang cukup berat, tetapi ia menyadari diri sebagai  seorang suster yang sudah berkaul ketaatan, maka dia meyakini bahwa “Suara pimpinan adalah suara Tuhan”. Jadi apa yang ditugaskan kepadanya pasti Tuhan berkarya di dalamnya. Sesekali hatinya berontak, namun Muder Clara seakan menesehatinya, “Kesusahan, kekecewaan dan semua kejadian yang kita terima dengan hati pasrah sebagai hal yang datang dari Allah”. Dan syukurlah, tugas studi kuselesaikan tepat pada waktunya.

Setelah selesai studi, Sr. Secilia kembali lagi bertugas di tempat yang sama, yaitu Balige. Semangatnya membara, nuansa baru, tenaga segar dengan dibarengi tekad yang kuat. Dia berusaha semaksimal mungkin dalam melaksanakan tugas pelayanan ini. Selain itu, ia juga diberi tugas tambahan, yakni membantu proses perjalanan kongregasi dari status misi menuju status Provinsi, di mana semua anggota FCJM terlibat di dalamnya.

Hidup berbagi

Pada tahun 1987, Sr. Secilia mendapat hadiah dari seseorang, yakni sebuah Alkitab. Dia melihat bahwa Alkitab tersebut dicetak pada tahun 1987, itu artinya Alkitab itu adalah cetakan terbaru. Dalam Alkitab itu terdapat lembaran kertas berisi kata-kata indah.

Sr. M. Secilia Siringoringo

Kenangan HUT ke 47 tahun.

Setia kepadamu

Sayangku, kamu boleh mengandalkan Aku, sampai matahari menjadikan laut kering selama itu Aku akan selalu setia kepadamu. Aku jadi milikmu sampai kekal abadi kupuja daya tarikmu yang luhur, Kukira engkau tahu kini bahwa Aku setia padamu. Aku takkan menyakiti engkau, takkan berdusta, Aku takkan berpura –pura, takkan membuat engkau menangis. Aku akan merasa sedih bila kau merasa sepi dari tahun ke tahun cintaKu bertambah dan mengalir seperti sungai. Cinta itu takkan mati sebab Aku setia kepadamu

(22 November 1987).

Pada waktu mendapat hadiah tersebut serta kata-kata dari pemberinya, hatinya sangat tenang dan berbunga-bunga. Pada tahun 1987 itu juga adalah tahun persiapan penutupan SMKK. Hal itu membuat kami tidak lagi menerima murid baru. Semua itu keputusan Yayasan Abdi Rakyat yang tidak sanggup lagi meneruskan sekolah, karena peraturan pemerintah yang sering berubah-ubah dan biaya operasional sekolah yang semakin besar. Pada tahun 1989 SMKK resmi menamatkan siswa yang terakhir.

Menghadapi saat-saat penutupan sekolah ini tidaklah mudah. Sr. Secilia hanya berpasrah pada kehendak Tuhan. Dalam  kesulitan yang kualami, Dia merasakan Tuhan mendampinginya. Inilah yang membuatnyabersyukur tiada henti. Selama bertugas di sekolah yang boleh dikatakan serba kekurangan dalam segala hal baik sarana dan prasarana, Sr. Secilia merangkum pengalaman manis pahit itu dalam refleksi ini. Sr. Secilia mencoba mengulangi kata-kata Muder Clara Pfander: “Di bawah salib kita akan menang, maka semoga kita jadi pemanggul Salib yang benar agar juga menerima palem kehidupan kekal.” Sebagai putri Muder Clara banyak hal indah dan membahagiakan yang dia alami. FCJM  adalah kongregasi internasional, persaudaraan sangat kaya melalui korespondensi, sehingga dapat saling memperkaya, menghibur dan menggairahkan di saat tertentu di mana hidup kadang dilanda atau diterpa angin rebut, apabila segalanya gelap dan hampir putus asa, begitu Sr.Secilia menuturkan.

Tantangan Cinta

Sr. Secilia menulis sejarah panggilannya sendiri seperti kitab sucinya sendiri, seakan nas dari alkitab, setiap kata setiap kalimat yang ditulis sarat arti. Suara panggilan terus mengundang setiap hari dibawanya entah ke mana: “Engkau telah membujuk aku ya Tuhan dan aku telah membiarkan diriku dibujuk. Engkau terlalu kuat bagiku dan Engkau menundukkan aku” (Yeremia 20:7a). Sr. Secilia sangat yakin campur tangan Tuhan yang menentukan hidup ini, baik dalam perjuangan pribadi maupun dalam komunitas.

Sr. Secilia juga punya pengalaman untuk berani membuat lompatan besar keluar dari penjara egoisme sendiri ke suatu putusan yang mendorongnya untuk menolong Saudarinya. Dia mendukung pendirian Yayasan Sinar Pelangi demi menolong saudara–saudari yang disabilitas”. Selama 10 tahun Sr. Secilia berkarya di sana. Dia sungguh mengalami banyak mukjizat  dan penyelenggaraan ilahi  untuk menolong mereka. Dalam hal ini Sr. Secilia dengan rendah hati mengakui bahwa ia tidak pernah menyesal memutuskan terlibat dalam mewujudkan cita-cita luhur itu. Dengan rendah hati mereka berdoa: “Tuhan … Engkau tidak memilih orang setengah-setengah atau bersikap acuh tak acuh, memulai. Engkau menghendaki orang-orang yang sikapnya jelas, mampu memberi penghiburan, serta siap menerima kegagalan dan kelaliman, penghinaan dan cercaan. Tuhan aku bersyukur kepada-Mu atas panggilanMu. Amin”.

 Mewartakan Dia melalui Hidup Lansia (Lanjut Usia)

Dengan panjang umur akan Kukenyangkan dia, dan akan Kuperlihatkan kepadanya keselamatan dari pada-Ku. (Mzm 91:16)

Pada usia senja ini, Sr. Secilia mengalami dan menemukan kenyataan dalam hidupnya sehari-hari bahwa Allah mengasihinya. Dia selalu memberikan diri-Nya secara total. Saat ini usianya 76 tahun dan sudah 60 tahun hidup dalam persaudaraan FCJM. Usia ini merupakan peziarahan yang panjang. Terkadang terlintas di benak Sr. Secilia bahwa  mustahil bissa mpai usia ini. Dalam refleksi 60 thn hidup membiara pada tahun 2017 ini, Sr. Secilia menemukan kebaikan Tuhan yang luar biasa. Sekarang ini Sr. Secilia menyadari bahwa dirinya adalah seorang yang rapuh, lemah dan berdosa. Sr. Secilia semakin merasakan daya iIahi-Nya yang melimpah dalam hidupnya dan Tuhan selalu mendampinginya dalam peziarahan hidup ini. Kalau bukan Tuhan yang Mahabaik dan Maharahim ikut serta mendampingi peziarahan ini, tentu tidak bisa menikmati rahmat berlimpah ini.

Dengan segala pengalaman yang dilalui dan dirasakannya, Sr. Secilia merefleksikan segala sesuatunya semakin menantang dan menggugah  hati. Pengalamannya juga mengajaknya untuk semakin rendah hati dan semakin pasrah serta penuh harapan akan penyelengggaraan-Nya. Belajar melihat ke depan tanpa takut. Sr. Secilia mensyukuri janji serah setia pertama puluhan tahun yang silam. Dia yang memanggil dan memilihnya begitu setia; “Bukan kamu yang memilih aku, tetapi aku yang memilih kamu. Aku telah menetapkan kamu supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaku di berikan-Nya kepadamu” (Yoh 15:16). Sabda ini menjadi peneguhan baginya yang jatuh bangun membenahi diri sendiri untuk mempertanggungjawabkan identitas keberadaannya. Sr. Secilia menyadari bahwa hidup tidak hanya mengandalkan kemampuan dirinya, tentu harus mengandalkan Tuhan.

Secara nyata kekuatan Tuhan dialami pada masa Junior. Sr. Secilia memiliki fisik yang lemah, sehingga sering sakit. Dia malah pernah istirahat total dalam waktu yang cukup lama. Sakit menyebabkan ia tidak dapat menyelesaikan tugas tepat pada waktunya dan terpaksa tertunda. Dalam situasi itu Sr. Secilia bergumul dan mencoba bertahan dalam situasi yang cukup menyakitkan itu. Namun Sr. Secilia tidak pernah merasa sendirian dalam menjalani hidup ini. Aku bersama Dia yang memanggilku dan mendampingiku. Inilah yang mendorong aku untuk selalu bersyukur. Ia menerima aku apa adanya. Betapapun besarnya dosa-dosa dan kerapuhanku, Ia tetap menunggu agar aku kembali memohon belas kasihNya. Oleh karena itu, untuk membalas kasih-Nya yang melimpah itu, aku berusaha membina persahabatan mesra denganNya. Aku merasa seakan terus dirayu oleh kasihNya dengan penegasanNya.

Kuterima engkau apa adanya dengan masa tuamu. Kucari engkau di manapun engkau berada, meski engkau berusaha menyembunyikan diri; meski engkau mencoba lari dari Aku. Aku mau bersahabat terus denganmu. Kupandang engkau dengan segala kegelisahan, kesusahan, dan kesukaran hidupmu dengan segala cacat celamu. Aku tidak pernah jemu padamu. Hanya Kuminta padamu bukalah gerbang hatimu bagiKu, akan Kucurahkan kata-kata yang menghibur. SabdaKu yang menyembuhkan, apiKu yang memurnikan, RohKu yang memuaskan Aku serta padamu.” Begitu Sr. Secilia mengisahkannya.

St. Clara sebagai rumah untuk lansia yang  diliputi kelemahan, tidak ada tuntutan yang menanti dan memaksa. Sr. Secilia dan para Suster yang lainnya mencoba menjadikan dirinya sebagai alat dalam sejarah keselamatan Tuhan seperti janjinya yang di atas, menjadi pendoa dalam kongregasi FCJM. Secara insani Sr. Secilia dan saudari-saudarinya sama–sama masuk lansia. Kutipan Mazmur yang di atas sungguh-sungguh menjadi pelita bagi perjalanan menuju kepada-Nya. Selain itu, ia berusaha membekali diri dengan banyak hal agar senantiasa berpaut kepada Tuhan. Sr. Secilia berusaha juga menjadikan doa sebagai sarana utama untuk memperoleh pengertian rohani hidup yang khusus baginya sebagai lansia. Doa adalah tugas pelayanan yang dapat dilaksanakan demi kesejahteraan seluruh gereja dan seluruh dunia. Untuk semakin mendukung pelayanan ini, Sr. Secilia senantiasa mengandalkan Tuhan. Oleh karena itu, Sr. Secilia mengambil motto dalam hidupnya: Tuhanlah kekuatanku dan perisaiku hanya pada-Nya aku percaya” (Mazmur 28:7a).

Tuhanlah kekuatan dan perisaiku. Dia menjadi sandaranku dan aku tak akan goyah. Dia menjadi tempat perlindunganku. Aku bersyukur di usia senja ini, aku melihat kebesaran Tuhan dalam hidupku. Aku dapat berdiri di tengah badai. Sampai kapanpun aku akan tetap setia karena Yesus selalu menopang hidupku. Yesus adalah kekuatanku. Yesus adalah perisaiku. Seperti dinyanyikan oleh Nikita dalam lagunya yang berjudul “Engkaulah kekuatan”,

Engkaulah kekuatanku
Tempat perlindunganku
Saat badai menerpa
Aku tak akan goyah
Aku tak akan goyah
S’bab Kau sertaku

Reff :
Sejauh langit dari bumi
Begitu besar-Nya kasih-Mu
Penuhi hati kami yang rindu
MenyembahMu … Yesus …

Sejauh langit dari bumi
Begitu besar-Nya kasih-Mu
Kaulah Tuhan, kekuatanku
Sukacitaku …

 

Syukur Tuhan untuk berkat yang Engkau berikan dan kurasakan setiap hari. Hingga saat ini Engkau hantar aku merayakan pesta 60 tahun hidup membiara dalam Kongregasi FCJM. Semua itu karena kasihMu. Engkau mengajariku dalam menghayati kasihMu dalam tiap liku hidupku. Semua menjadi indah dalam sejarah hidupku. Aku bersyukur bahwa pengalaman itu menjadi kenangan terindah dalam hidupku.  Aku berserah kepadamu luaskan rohMu bekerja di hatiku hingga saat ini. Ya Tuhan telah Engkau hantarkan daku dan kurasakan damainya bersamamu di hari bahagia ini. Syukur Tuhan kudapatkan kemenangan. Aku bersyukur karena aku melangkah tanpa ragu. Kupandang cahaya wajahMu terangi hidupku. Engkau selalu menerangi jalan hidupku. Syukur Tuhan Syukur Tuhan. Amin.

More on this topic

Comments

Advertismentspot_img

Popular stories